Sabtu, 26 Desember 2009

HAM versus BHP


Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia (Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM).
Pendidikan salah satu substansi dari ham, yang wajib dihormati dan dilindungi oleh negara. Karena didalam konstitusi sendiri mengatur secara spesifik tentang hal ini. Ini diatur dalam pasal Pasal 31 ayat 1 yang berbunyi “(1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Hal ini kelihatan tidak singkron kalau kita kaitkan dengan regulasi yang dibuat oleh Pemerintah kita yaitu UU No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP). Salah satu hal yang perlu dikritisi adalah dari sisi pendanaan BHP. Sebagaimana tercantum dalam UU BHP pasal 41, tidak seluruh pendanaan BHP berasal dari Pemerintah, baik itu pendidikan menengah maupun pendidikan tinggi. Artinya masih terdapat porsi-porsi dimana institusi pendidikan yang bersangkutan perlu mengusahakan sendiri sumber dana lain dalam memenuhi biaya operasional penyelenggaraan pendidikan. Mari kita telaah, dari sumber-sumber mana saja institusi pendidikan dapat memperoleh dana untuk ‘menambal’ biaya operasional mereka. Dari peneleaahan tersebut juga akan terlihat bahwa mekanisme pendanaan biaya operasional pada BHP diluar porsi pemerintah, tidak hanya diatur dalam UU BHP saja, namun juga tercantum pada peraturan-peraturan lain (PP dan Perpres). UU BHP ‘hanya’ menjelaskan garis besar porsi-porsi pembiayaan yang harus ditanggung sendiri oleh BHP dan menjelaskan secara umum mekanisme memperolehnya. Rincian dari mekanisme tersebut diatur selanjutnya oleh peraturan lain.
Salah satu sumber pendanaan yang diperbolehkan dijalankan oleh BHP adalah investasi dalam bentuk portofolio (saham). Hal ini tercantum dengan jelas pada pasal 42 ayat 1. Hal ini menunjukkan bahwa institusi pendidikan (BHP) dapat bermain di pasar bursa. Tentunya kita belum lupa mengenai riskannya bermain di sektor finansial. Gambaran anjloknya sektor finansial dunia pada krisis ekonomi global saat ini tentunya sangat menggambarkan tingginya resiko permainan saham di lantai bursa. Tak terhitung berapa banyak perusahaan-perusahaan besar dunia yang mendadak gulung tikar karena fluktuasi nilai saham yang sangat rentan. Bayangkan jika sektor vital seperti pendidikan ditopang oleh mekanisme pendanaan yang rapuh seperti ini? Akan jadi seperti apa dunia pendidikan Indonesia? Ramai-ramai gulung tikar pula kah?
Mekanisme lain yang dapat dilakukan oleh BHP untuk memperoleh dana adalah dengan menghimpun dana dari masyarakat dengan ketentuan yang sesuai dengan undang-undang (peraturan) yang ada. Hal tersebut tercantum dalam pasal 45 ayat 1 UU BHP, namun tidak ada penjelasan lebih rinci mengenai hal tersebut. Satu hal yang menarik adalah keberadaan PP no.48 tahun 2008 mengenai pendanaan pendidikan. PP tersebut menjelaskan secara terperinci sumber-sumber dana ynag dapat digunakan oleh BHP. Pada PP tersebut terdapat beberapa pasal yang jelas-jelas mengatakan bahwa salah satu sumber pendanaan institusi pendidikan adalah dari pihak asing. Sedikitnya terdapat 15 pasal dalam PP tersebut yang menyebutkan bahwa salah satu sumber pendanaan yang sah dari institusi pendidikan berasal dari pihak asing.
Keterlibatan pihak asing dalam dunia pendidikan Indonesia yang tercantum dalam peraturan negeri ini tidak hanya itu. Pada Perpres No.77/2007 mengenai daftar bidang usaha yang tertutup dan terbuka di bidang penanaman modal, disebutkan bahwa jenis badan usaha yang dapat dimasuki modal asing adalah pendidikan, baik formal maupun informal, dengan persentase modal asing sampai dengan 49%.
Hal ini terlihat sangat aneh ketika pemerintah berupaya untuk melepas tanggung jawabnya terhadap pendanaan pendidikan dan justru melegalkan pihak asing untuk membiayai pendidikan di Indonesia. Hal ini sama saja dengan memberikan otoritas pendidikan kepada pihak asing. Sehingga bila sector pendidikan sudah dikuasai oleh pihak asing maka sudah barang tentu kebijakan yang diambil dalam hal pendidikan berdasarkan keinginan pihak asing atau pemilik yang pada hakikatnya mereka berorientasi mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa memperdulikan hak-hak rakyat kurang mampu yang semakin terlindas dalam mengakses pendidikan. Dimana kedaulatan “rakyat” yang katanya di jamin oleh konstitusi terutama dalam mengakses pendidikan??? Dan dimana kedaulatan Negara kalau sector pendidikannya diselenggarakan oleh pihak asing atau pemilik modal??? Apakah pendidikan kita akan dijual kepada pemilik modal??
Secara teoritis UU BHP ini juga sangat bertentangan dengan Konsep HAM . Dalam jalur pendidikan. ini terlihat dari berbagai aspek yang berkenaan dengan landasan pendidikan Nasional Indonesia.
a. Landasan Filosofis
1.Pemenuhan dan Penegakan Hak asasi Manusia, Hak Anak dan Hak Perempuan Dalam Pendidikan.
Sesuai dengan prinsip Hak asasi Manusia yang universal, pemerintah berkewajiban untuk menghormati, melindungi dan menegakkan Hak asasi Manusia warga negaranya akan pendidikan. Dengan demikian, pemerintah berkewajiban untuk menegakkan hak pendidikan untuk semua warga negaranya tanpa terkecuali.
2. Bebas dari Segala Bentuk Diskriminasi Dalam Penyelenggaraan Pendidikan
Prinsip Hak asasi Manusia yang universal menyatakan bahwa setiap manusia harus diperlakukan sama, tanpa diskriminasi dan tanpa terkecuali. Prinsip ini juga yang akan menjadi pilar pengembangan manusia dalam pendidikan yang menekankan pada kesetaraan dalam berbagai kesempatan dan pilihan untuk memperoleh pendidikan. Oleh sebab itu, dalam menyelenggarakan pendidikan, pemerintah tidak boleh membedakan peserta pendidikan baik dalam hal jender, ras, agama, etnis maupun usia.
3.Bebas dari Segala Bentuk Ketidakadilan Dalam Bidang Pendidikan
Sejalan dengan prinsip HAM dan anti diskriminasi, pemerintah juga berkewajiban menyelenggarakan pendidikan dengan adil terhadap setiap warga negaranya. Prinsip keadilan ini sangat penting, mengingat masih banyak rakyat Indonesia yang terpinggirkan (kelompok marjinal) yang memerlukan perhatian khusus dalam pendidikan. Saat ini, kesempatan pendidikan dengan fasilitas yang memadai masih dikuasai oleh kelompok masyarakat yang bermukim di kota besar dan kelompok masyarakat yang mempunyai dana yang lebih besar untuk memperoleh pendidikan.
4.“Affirmative Action” dalam Penyelenggaraan Pendidikan
Aksi afirmatif dalam penyelenggaraan pendidikan sangat perlu dilakukan terhadap berbagai kelompok marjinal seperti perempuan, dan masyarakat miskin. Oleh sebab itu pemerintah dan pemerintah daerah harus membuat program dengan memberikan prioritas kesempatan pada kelompok marjinal diatas.
5.Penghargaan Pluralisme Dalam Penyelenggaraan Pendidikan
Indonesia merupakan salah satu bangsa di dunia yang memiliki keberagaman yang luar biasa dalam berbagai bidang, baik dalam suku bangsa, bahasa, agama, kepercayaan dan adat istiadat. Fakta menunjukkan bahwa seringkali terjadi pertentangan dan konflik akibat keberagaman ini. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya konflik tersebut, yang antara lain disebabkan oleh pendidikan yang belum berorientasi pada penghargaan terahdap pluralisme atau keberagaman dalam masyarakat. .
6.Pendidikan Kritis (Pendidikan yang Membebaskan)
Konsep pendidikan yang selama ini ada, masih mengacu pada kebutuhan untuk memenuhi pasar tenaga kerja dan hal-hal lain yang mengenyampingkan tujuan utama pendidikan untuk mengembangkan potensi manusia secara optimal. Pendidikan yang saat ini diselenggarakan saja masih sangat normatif dengan muatan yang sangat banyak dan tidak sesuai dengan kebutuhan peserta belajar.
b. Landasan Sosiologis
1.Peran Keluarga dalam Melaksanakan Fungsi Pendidikan
Keluarga merupakan unit masyarakat terkecil yang juga merupakan pihak pertama yang memberikan pendidikan kepada anak. Dalam sejarah kehidupan manusia, keluarga berfungsi mempersiapkan manusia untuk terjun ke komunitas masyarakat. Peran keluarga dan juga orangtua perlu menjadi landasan dalam penyelenggaraan pendidikan mengingat saat ini peran keluarga terutama dalam pendidikan anak telah diambil alih oleh komunitas dan juga negara.
2.Peran Komunitas dan Negara Dalam Penyelanggaraan Pendidikan
Secara universal, peran dan fungsi keluarga dalam memberikan pendidikan terutama pada anak telah dialihkan kepada komunitas dan negara. Dengan demikian, penyelenggaraan pendidikan oleh negara lah yang saat ini menjadi perhatian utama. Di benak manusia modern, tugas penyelenggaraan pendidikan ada di pundak negara, sehingga campur tangan komunitas, keluarga dan orangtua bukanlah suatu hal yang lazim. Namun di lain pihak, adalah fakta bahwa negara wajib memenuhi Hak asasi Manusia rakyatnya dalam hal pendidikan. Oleh sebab itu, penyelenggaraan pendidikan oleh negara menjadi suatu hal yang penting untuk dikritisi oleh masyarakatnya, keluarga dan komunitas secara luas.
Peran komunitas dan negara dalam menyelenggarakan pendidikan harus tetap memegang prinsip-prinsip utama pemenuhan hak pendidikan rakyat yang tetap tidak mengabaikan peran keluarga dan komunitas dalam penyelenggaraan pendidikan.
Sesuai dengan amanah konstitusi, pendidikan merupakan hak warga Negara yang penjaminan pemenuhannya wajib dilakukan oleh Negara. Berubahnya bentuk institusi pendidikan menjadi Badan Hukum akan mengeliminasi penjaminan Negara terhadap masyarakat dalam memperoleh pendidikan, salah satunya dari sisi aksesibilitas.
Kalau kita juga mengacu kepada azas hukum yang berlaku saat ini yang salah satunya adalah azas Lex Superior derogate lex Inferiori yang artinya bahwa hukum yang lebih tingi mengalahkan hukum yang lebih rendah. Melihat hal ini, tentunya UU BHP tidak dapat dapat berlaku mengingat ada pertentangan pasal dalam UU BHP dengan pasal yang terdapat dalam UUD 1945 seperti yang kita lihat di atas. Seharusnya UU BHP ini tidak dapat diberlakukan karena jelas inkonstitusional.
Selain itu, Data di Kantor Menko Kesra tercatat, jumlah penduduk miskin pada Juli 2008 mencapai 34,96 juta orang. Itu artinya masih sangat besar jumlah penduduk miskin yang ada di Indonesia, jangankan untuk mengenyam pendidikan untuk mengurus urusan perut sendiri mereka sulit, apalagi kalau sampai UU BHP ini diberlakukan,tentunya proses pembodohan yang terorganisir dan sistemik bakal terjadi. Karena akses pendidikan hanya dapat dinikmati oleh orang-orang yang memiliki modal. Sehingga substansi HAM dalam hal Pendidikan semakin di marginalkan oleh negara.
Maka dari itu, Negara jangan sampai Lepas Tanggung Terhadap Pendidikan. Karena, apabila hal ini terjadi, maka kapitalis akan berkuasa merebut dunia pendidikan dan akan menjadikan pendidikan sebagai sarana untuk menjajah kembali negeri ini, dan rakyat miskin akan terus termarginalkan serta terkebiri hak-haknya dalam mendapatkan pendidikan. Wallahualam bisshawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar