Minggu, 27 Desember 2009

Mahasiswa Demo Tuntut Transparansi Unimal



LHOKSEUMAWE | ACEHKITA.COM — Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Front Mahasiswa Universitas Malikussaleh (Unimal) Reuleut, Aceh Utara, menggelar aksi demo dan menduduki Biro Rektorat, Senin (16/11). Pendemo menilai rektorat Unimal tidak transparasi dalam pengelolaan manajamen maupun keuangan.

Demo yang dilakukan aktivis muda tersebut mengundang perhatian kalangan mahasiswa, para dosen serta calon wisudawan yang akan diwisudakan besok.

Isbahanur Jurubicara Front Mahasiswa Unimal, kepada wartawan mengatakan, selama ini pengelolaan kampus Unimal masih jauh dari nilai transparansi dan akuntabilitas di semua sektor.

Dia mencontohkan pengutipan uang pengembangan jurusan bisnis senilai Rp 1 juta dari mahasiswa sebagai syarat pendaftaran ulang serta mekanisme drop out yang tidak jelas.

Di samping itu, kata dia, dugaan penyimpangan dana penyelenggaraan MTQ tingkat mahasiswa, kenaikan SPP, beasiswa perekrutan mahasiswa untuk mendapatkan beasiswa sangat tertutup dan tidak dipublikasikan.

Dia juga membeberkan pengelolaan dana hibah kewirausahaan mahasiswa sebesar 1 Milyar yang tidak transparan serta terjadinya pengutipan uang transportasi, begitu juga dana asuransi mahasiswa dan program Penghijauan (pengelolaan anggaran 2003 s/d 2009)

Di samping itu kelompok mahasiswa ini juga menyorot tentang lambannya pembangunan kampus utama di Desa Reuleut serta memprotes kebijakan rektorat yang memberlakukan aktivitas pembelajaran di tempat yang terpisah-pisah.

Untuk itu Front Mahasiswa Universitas Malikussaleh (Unimal) menuntut pihak rektorat agar segera melakukan pertanggungjawaban serta reformasi birokrasi dan manajemen di tubuh unimal. “Kita akan terus melakukan aksi sampai kampus kami terbebas dari berbagai penyimpangan,” ujar Isbahannur.

Sementara itu, menyikapi aksi demo mahasiswa, Kepala Kehumasan Unimal M. Husen, MR, saat dikonfirmasi wartawan mengatakan, pihaknya akan membicarakan dengan rektor Unimal terkait tuntutan yang disampaikan oleh mahasiswa.

“Karena semua persoalan itu dapat diselesaikan dengan baik, jadi kita bicarakan dulu dengan Pak Rektor untuk mencari jalan keluar,” imbuhnya.

Sebelum melancarkan demo, sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Front Mahasiswa Universitas Malikussaleh menerima ancaman dari pihak rektorat. Senin pagi, surat edaran Nomor 1.435/H45/KM/2009 yang ditandatangani Pembantu Dekan bidang Kemahasiswaan, Bakhtiar, mewanti-wanti agar mahasiswa tak terpancing aksi demo.

Di surat edaran itu disebutkan pelarangan bagi mahasiswa terlibat dalam organisasi yang tidak disahkan oleh rektorat dan dekanat. Jika sejumlah larangan dalam edaran tidak digubris mahasiswa, maka rektorat mengancam skorsing, dilarang mengikuti kegiatan akademik, dan drop-out.

Sabtu, 26 Desember 2009

4 Tahun MoU Helsinki, KKR dan Pengadilan HAM belum terbentuk di Aceh


Tanpa terasa Peringatan Penandatangan MoU Helsinki di Finlandia sudah berjalan selama 4 tahun. Dengan ditandanganinya Nota Kesepahaman tersebut merupakan berkah bagi Rakyat Aceh yang telah lama hidup di dalam derita, akibat konflik yang berkepanjangan. Saat konflik berlangsung, masyarakat hidup di dalam ketakutan yang teramat sangat. Masyarakat tidak berani ke kebun atau keladang untuk bercocok tanam karena kerap kali terjadi kontak senjata antara TNI dan GAM, akibatnya kondisi perekonomian masyarakat Aceh menjadi sangat memprihatinkan. Banyak korban dipihak sipil pada saat konflik berlangsung di Aceh.

Sehingga hari yang sangat diimpikan itu tiba, pada tanggal 15 Agustus 2009 yaitu di tanda tanganinya Nota Kesepahaman antara Pemerintah RI dan GAM di Helsinki yang merupakan cikal bakal lahirnya UUPA, dimana peristiwa bersejarah yang tidak pernah dilupakan oleh Rakyat Aceh.

Namun yang sangat disayangkan, setelah UUPA disyahkan tuntutan Pemenuhan Keadilan bagi Korban konflik juga belum juga terlaksana, padahal secara yuridis hal ini sudah di atur dalam UUPA. Seperti contohnya Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang sejatinya akan dibentuk di Aceh oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Indonesia dengan tugas merumuskan dan menentukan upaya rekonsiliasi. Namun sampai hari ini, belum juga direalisasikan yang artinya Belum ada Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang terbentuk di Aceh. Padahal ini sudah diatur dalam UUPA tentang Hak Asasi Manusia pasal 229.

Hal lain yang menjadi sangat urgent adalah pembentukan sebuah Pengadilan Hak Asasi Manusia untuk Aceh yang hal tersebut sudah diakomodasi dalam UUPA tentang Hak Asasi Manusia pasal 228 namun sejauh ini belum ada pengadilan HAM yang terbentuk di Aceh. Padahal idealnya, hal ini sudah harus dilaksanakan setahun setelah UUPA itu disyahkan. Hal ini sangat lah ironis.

Namun kami berharap adanya itikad baik dari Pemerintah agar kedua hal tersebut bisa dilaksanakan sesuai dengan prosedur dan mekanisme yang telah ditentukan oleh UUPA, agar keadilan bagi Korban konflik bisa terpenuhi.

Juga kami dari Forum Komunikasi Mahasiswa Aceh menghimbau kepada seluruh elemen, baik sipil maupun militer di Aceh untuk terus menjaga perdamaian yang telah disepakati, agar kesejahteraan hidup Rakyat bisa terpenuhi dan mengutuk setiap aksi-aksi yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab dengan tujuan untuk merusak perdamaian yang telah tercipta. Sehingga perdamaian di Aceh bisa menjadi perdamaian yang abadi.

Forum Komunikasi Mahasiswa Aceh
Juru Bicara

Herlin

HAM versus BHP


Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia (Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM).
Pendidikan salah satu substansi dari ham, yang wajib dihormati dan dilindungi oleh negara. Karena didalam konstitusi sendiri mengatur secara spesifik tentang hal ini. Ini diatur dalam pasal Pasal 31 ayat 1 yang berbunyi “(1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Hal ini kelihatan tidak singkron kalau kita kaitkan dengan regulasi yang dibuat oleh Pemerintah kita yaitu UU No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP). Salah satu hal yang perlu dikritisi adalah dari sisi pendanaan BHP. Sebagaimana tercantum dalam UU BHP pasal 41, tidak seluruh pendanaan BHP berasal dari Pemerintah, baik itu pendidikan menengah maupun pendidikan tinggi. Artinya masih terdapat porsi-porsi dimana institusi pendidikan yang bersangkutan perlu mengusahakan sendiri sumber dana lain dalam memenuhi biaya operasional penyelenggaraan pendidikan. Mari kita telaah, dari sumber-sumber mana saja institusi pendidikan dapat memperoleh dana untuk ‘menambal’ biaya operasional mereka. Dari peneleaahan tersebut juga akan terlihat bahwa mekanisme pendanaan biaya operasional pada BHP diluar porsi pemerintah, tidak hanya diatur dalam UU BHP saja, namun juga tercantum pada peraturan-peraturan lain (PP dan Perpres). UU BHP ‘hanya’ menjelaskan garis besar porsi-porsi pembiayaan yang harus ditanggung sendiri oleh BHP dan menjelaskan secara umum mekanisme memperolehnya. Rincian dari mekanisme tersebut diatur selanjutnya oleh peraturan lain.
Salah satu sumber pendanaan yang diperbolehkan dijalankan oleh BHP adalah investasi dalam bentuk portofolio (saham). Hal ini tercantum dengan jelas pada pasal 42 ayat 1. Hal ini menunjukkan bahwa institusi pendidikan (BHP) dapat bermain di pasar bursa. Tentunya kita belum lupa mengenai riskannya bermain di sektor finansial. Gambaran anjloknya sektor finansial dunia pada krisis ekonomi global saat ini tentunya sangat menggambarkan tingginya resiko permainan saham di lantai bursa. Tak terhitung berapa banyak perusahaan-perusahaan besar dunia yang mendadak gulung tikar karena fluktuasi nilai saham yang sangat rentan. Bayangkan jika sektor vital seperti pendidikan ditopang oleh mekanisme pendanaan yang rapuh seperti ini? Akan jadi seperti apa dunia pendidikan Indonesia? Ramai-ramai gulung tikar pula kah?
Mekanisme lain yang dapat dilakukan oleh BHP untuk memperoleh dana adalah dengan menghimpun dana dari masyarakat dengan ketentuan yang sesuai dengan undang-undang (peraturan) yang ada. Hal tersebut tercantum dalam pasal 45 ayat 1 UU BHP, namun tidak ada penjelasan lebih rinci mengenai hal tersebut. Satu hal yang menarik adalah keberadaan PP no.48 tahun 2008 mengenai pendanaan pendidikan. PP tersebut menjelaskan secara terperinci sumber-sumber dana ynag dapat digunakan oleh BHP. Pada PP tersebut terdapat beberapa pasal yang jelas-jelas mengatakan bahwa salah satu sumber pendanaan institusi pendidikan adalah dari pihak asing. Sedikitnya terdapat 15 pasal dalam PP tersebut yang menyebutkan bahwa salah satu sumber pendanaan yang sah dari institusi pendidikan berasal dari pihak asing.
Keterlibatan pihak asing dalam dunia pendidikan Indonesia yang tercantum dalam peraturan negeri ini tidak hanya itu. Pada Perpres No.77/2007 mengenai daftar bidang usaha yang tertutup dan terbuka di bidang penanaman modal, disebutkan bahwa jenis badan usaha yang dapat dimasuki modal asing adalah pendidikan, baik formal maupun informal, dengan persentase modal asing sampai dengan 49%.
Hal ini terlihat sangat aneh ketika pemerintah berupaya untuk melepas tanggung jawabnya terhadap pendanaan pendidikan dan justru melegalkan pihak asing untuk membiayai pendidikan di Indonesia. Hal ini sama saja dengan memberikan otoritas pendidikan kepada pihak asing. Sehingga bila sector pendidikan sudah dikuasai oleh pihak asing maka sudah barang tentu kebijakan yang diambil dalam hal pendidikan berdasarkan keinginan pihak asing atau pemilik yang pada hakikatnya mereka berorientasi mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa memperdulikan hak-hak rakyat kurang mampu yang semakin terlindas dalam mengakses pendidikan. Dimana kedaulatan “rakyat” yang katanya di jamin oleh konstitusi terutama dalam mengakses pendidikan??? Dan dimana kedaulatan Negara kalau sector pendidikannya diselenggarakan oleh pihak asing atau pemilik modal??? Apakah pendidikan kita akan dijual kepada pemilik modal??
Secara teoritis UU BHP ini juga sangat bertentangan dengan Konsep HAM . Dalam jalur pendidikan. ini terlihat dari berbagai aspek yang berkenaan dengan landasan pendidikan Nasional Indonesia.
a. Landasan Filosofis
1.Pemenuhan dan Penegakan Hak asasi Manusia, Hak Anak dan Hak Perempuan Dalam Pendidikan.
Sesuai dengan prinsip Hak asasi Manusia yang universal, pemerintah berkewajiban untuk menghormati, melindungi dan menegakkan Hak asasi Manusia warga negaranya akan pendidikan. Dengan demikian, pemerintah berkewajiban untuk menegakkan hak pendidikan untuk semua warga negaranya tanpa terkecuali.
2. Bebas dari Segala Bentuk Diskriminasi Dalam Penyelenggaraan Pendidikan
Prinsip Hak asasi Manusia yang universal menyatakan bahwa setiap manusia harus diperlakukan sama, tanpa diskriminasi dan tanpa terkecuali. Prinsip ini juga yang akan menjadi pilar pengembangan manusia dalam pendidikan yang menekankan pada kesetaraan dalam berbagai kesempatan dan pilihan untuk memperoleh pendidikan. Oleh sebab itu, dalam menyelenggarakan pendidikan, pemerintah tidak boleh membedakan peserta pendidikan baik dalam hal jender, ras, agama, etnis maupun usia.
3.Bebas dari Segala Bentuk Ketidakadilan Dalam Bidang Pendidikan
Sejalan dengan prinsip HAM dan anti diskriminasi, pemerintah juga berkewajiban menyelenggarakan pendidikan dengan adil terhadap setiap warga negaranya. Prinsip keadilan ini sangat penting, mengingat masih banyak rakyat Indonesia yang terpinggirkan (kelompok marjinal) yang memerlukan perhatian khusus dalam pendidikan. Saat ini, kesempatan pendidikan dengan fasilitas yang memadai masih dikuasai oleh kelompok masyarakat yang bermukim di kota besar dan kelompok masyarakat yang mempunyai dana yang lebih besar untuk memperoleh pendidikan.
4.“Affirmative Action” dalam Penyelenggaraan Pendidikan
Aksi afirmatif dalam penyelenggaraan pendidikan sangat perlu dilakukan terhadap berbagai kelompok marjinal seperti perempuan, dan masyarakat miskin. Oleh sebab itu pemerintah dan pemerintah daerah harus membuat program dengan memberikan prioritas kesempatan pada kelompok marjinal diatas.
5.Penghargaan Pluralisme Dalam Penyelenggaraan Pendidikan
Indonesia merupakan salah satu bangsa di dunia yang memiliki keberagaman yang luar biasa dalam berbagai bidang, baik dalam suku bangsa, bahasa, agama, kepercayaan dan adat istiadat. Fakta menunjukkan bahwa seringkali terjadi pertentangan dan konflik akibat keberagaman ini. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya konflik tersebut, yang antara lain disebabkan oleh pendidikan yang belum berorientasi pada penghargaan terahdap pluralisme atau keberagaman dalam masyarakat. .
6.Pendidikan Kritis (Pendidikan yang Membebaskan)
Konsep pendidikan yang selama ini ada, masih mengacu pada kebutuhan untuk memenuhi pasar tenaga kerja dan hal-hal lain yang mengenyampingkan tujuan utama pendidikan untuk mengembangkan potensi manusia secara optimal. Pendidikan yang saat ini diselenggarakan saja masih sangat normatif dengan muatan yang sangat banyak dan tidak sesuai dengan kebutuhan peserta belajar.
b. Landasan Sosiologis
1.Peran Keluarga dalam Melaksanakan Fungsi Pendidikan
Keluarga merupakan unit masyarakat terkecil yang juga merupakan pihak pertama yang memberikan pendidikan kepada anak. Dalam sejarah kehidupan manusia, keluarga berfungsi mempersiapkan manusia untuk terjun ke komunitas masyarakat. Peran keluarga dan juga orangtua perlu menjadi landasan dalam penyelenggaraan pendidikan mengingat saat ini peran keluarga terutama dalam pendidikan anak telah diambil alih oleh komunitas dan juga negara.
2.Peran Komunitas dan Negara Dalam Penyelanggaraan Pendidikan
Secara universal, peran dan fungsi keluarga dalam memberikan pendidikan terutama pada anak telah dialihkan kepada komunitas dan negara. Dengan demikian, penyelenggaraan pendidikan oleh negara lah yang saat ini menjadi perhatian utama. Di benak manusia modern, tugas penyelenggaraan pendidikan ada di pundak negara, sehingga campur tangan komunitas, keluarga dan orangtua bukanlah suatu hal yang lazim. Namun di lain pihak, adalah fakta bahwa negara wajib memenuhi Hak asasi Manusia rakyatnya dalam hal pendidikan. Oleh sebab itu, penyelenggaraan pendidikan oleh negara menjadi suatu hal yang penting untuk dikritisi oleh masyarakatnya, keluarga dan komunitas secara luas.
Peran komunitas dan negara dalam menyelenggarakan pendidikan harus tetap memegang prinsip-prinsip utama pemenuhan hak pendidikan rakyat yang tetap tidak mengabaikan peran keluarga dan komunitas dalam penyelenggaraan pendidikan.
Sesuai dengan amanah konstitusi, pendidikan merupakan hak warga Negara yang penjaminan pemenuhannya wajib dilakukan oleh Negara. Berubahnya bentuk institusi pendidikan menjadi Badan Hukum akan mengeliminasi penjaminan Negara terhadap masyarakat dalam memperoleh pendidikan, salah satunya dari sisi aksesibilitas.
Kalau kita juga mengacu kepada azas hukum yang berlaku saat ini yang salah satunya adalah azas Lex Superior derogate lex Inferiori yang artinya bahwa hukum yang lebih tingi mengalahkan hukum yang lebih rendah. Melihat hal ini, tentunya UU BHP tidak dapat dapat berlaku mengingat ada pertentangan pasal dalam UU BHP dengan pasal yang terdapat dalam UUD 1945 seperti yang kita lihat di atas. Seharusnya UU BHP ini tidak dapat diberlakukan karena jelas inkonstitusional.
Selain itu, Data di Kantor Menko Kesra tercatat, jumlah penduduk miskin pada Juli 2008 mencapai 34,96 juta orang. Itu artinya masih sangat besar jumlah penduduk miskin yang ada di Indonesia, jangankan untuk mengenyam pendidikan untuk mengurus urusan perut sendiri mereka sulit, apalagi kalau sampai UU BHP ini diberlakukan,tentunya proses pembodohan yang terorganisir dan sistemik bakal terjadi. Karena akses pendidikan hanya dapat dinikmati oleh orang-orang yang memiliki modal. Sehingga substansi HAM dalam hal Pendidikan semakin di marginalkan oleh negara.
Maka dari itu, Negara jangan sampai Lepas Tanggung Terhadap Pendidikan. Karena, apabila hal ini terjadi, maka kapitalis akan berkuasa merebut dunia pendidikan dan akan menjadikan pendidikan sebagai sarana untuk menjajah kembali negeri ini, dan rakyat miskin akan terus termarginalkan serta terkebiri hak-haknya dalam mendapatkan pendidikan. Wallahualam bisshawab

Peran remaja dalam Mempromosikan HAM di Aceh


HAM / Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun. Sebagai warga negara yang baik kita mesti menjunjung tinggi nilai hak azasi manusia tanpa membeda-bedakan status, golongan, keturunan, jabatan, dan lain sebagainya.
Melanggar HAM seseorang bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Hak asasi manusia memiliki wadah organisasi yang mengurus permasalahan seputar hak asasi manusia yaitu Komnas HAM. Kasus pelanggaran ham di Indonesia memang masih banyak yang belum terselesaikan / tuntas sehingga diharapkan perkembangan dunia ham di Indonesia dapat terwujud ke arah yang lebih baik. Salah satu tokoh ham di Indonesia adalah Munir yang tewas dibunuh di atas pesawat udara saat menuju Belanda dari Indonesia.
Pembagian Bidang, Jenis dan Macam Hak Asasi Manusia Dunia :
1. Hak asasi pribadi / personal Right
- Hak kebebasan untuk bergerak, bepergian dan berpindah-pndah tempat
- Hak kebebasan mengeluarkan atau menyatakan pendapat
- Hak kebebasan memilih dan aktif di organisasi atau perkumpulan
- Hak kebebasan untuk memilih, memeluk, dan menjalankan agama dan kepercayaan yang diyakini masing-masing
2. Hak asasi politik / Political Right
- Hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan
- hak ikut serta dalam kegiatan pemerintahan
- Hak membuat dan mendirikan parpol / partai politik dan organisasi politik lainnya
- Hak untuk membuat dan mengajukan suatu usulan petisi
3. Hak azasi hukum / Legal Equality Right
- Hak mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan
- Hak untuk menjadi pegawai negeri sipil / pns
- Hak mendapat layanan dan perlindungan hukum
4. Hak azasi Ekonomi / Property Rigths
- Hak kebebasan melakukan kegiatan jual beli
- Hak kebebasan mengadakan perjanjian kontrak
- Hak kebebasan menyelenggarakan sewa-menyewa, hutang-piutang, dll
- Hak kebebasan untuk memiliki susuatu
- Hak memiliki dan mendapatkan pekerjaan yang layak
5. Hak Asasi Peradilan / Procedural Rights
- Hak mendapat pembelaan hukum di pengadilan
- Hak persamaan atas perlakuan penggeledahan, penangkapan, penahanan dan penyelidikan di mata hukum.
6. Hak asasi sosial budaya / Social Culture Right
- Hak menentukan, memilih dan mendapatkan pendidikan
- Hak mendapatkan pengajaran
- Hak untuk mengembangkan budaya yang sesuai dengan bakat dan minat
Dilihat dari perspektif HAM pemikiran diatas akan bermuara pada urgensi pengembangan demokrasi secara konsisten. Demokrasi mengandaikan adanya supremasi hukum; dan berkembangnya kesadaran rakyat tentang hak-haknya, disamping tentunya ada pembagian kewenangian antar cabang kekuasaan baik dalam struktur pemerintahan di pusat maupun di daerah. Sebaliknya demokrasi juga mengandaikan adanya dan memberi peluang sebesar-besarnya bagi peningkatan kesadaran akan hak-hak rakyat yang diaplikasikan dalam partisipasi politik mereka. Bahkan kondolidasi demokrasi mempersyaratkan adanya partisipasi rakyat yang efektif. Dalam konteks Negara yang dalam taraf transisi menuju demokrasi, penegakan supremasi hukum, peningkatan kesadaran rakyat atas hak-haknya dan perlindungan HAM merupakan bagian dari agenda urgen untuk mendorong pemapanan demokrasi yang dikenal dengan istilah konsolidasi demokrasi.
Hal diatas merupakan instrument penting yang seharusnya dijadikan landasan berfikir para remaja saat ini dia Aceh mengenai Hak Asasi Manusia, terutama pasca MoU Helsinki. Namun pada kenyataan nya, mereka kurang berperan aktif dalam mensosialisasikan HAM. Ada factor yang mempengaruhi kenapa remaja di Aceh saat ini cenderung pasif dalam hal mensosialisasikan HAM. Hal ini salah satunya adalah kurangnya pemahaman tentang HAM itu sendiri.
Seperti kita ketahui, sebagian besar remaja dan pemuda di aceh saat ini kurang memiliki pemahaman tentang HAM, hal itu dapat kita lihat kurangnya pemahaman mereka tentang hak-hak terhadap pendidikan, kesehatan, dan hak-hak lainya yang merupakan tanggung jawab Negara dalam proses pemenuhannya. Ketika hak-hak atas pendidikan dilanggar sebagian besar generasi muda (para remaja) tidak pernah mengkritisi, kurangnya pelayanan kesehatan terhadap masyarakat miskin saat ini di Aceh juga tidak pernah mendapat sorotan yang serius dari para remaja. Padahal seharusnya, para remaja yang notabene sebagai generasi penerus bangsa harus lebih aktif dan progresif dalam mempromosikan HAM dan memberikan penyadaran kepada masyarakat luas di Aceh tentang pentingnya HAM. Agar kita bisa mengetahui apa saja yang menjadi hak individu masyarakat yang harus dipenuhi oleh Negara.
Selain itu dengan adanya pemahaman tentang HAM kita juga dapat mengetahui tentang hak-hak orang lain yang tidak boleh kita langgar. Sehingga kita dapat hidup secara berdampingan dengan rukun tanpa memandang agama, suku, dan ras masing-masing. Hal ini juga penting, guna mengawal perdamaian di Aceh yang telah berjalan selama 4 tahun lamanya. Kalau ini tidak dikawal, maka peluang timbulnya konflik akan semakin besar. Karena, seperti yang kita ketahui bersama bahwa konflik di Aceh bermula pada persoalan kesejahteraan dan keadilan sosial yang tidak dipenuhi oleh pemerintah, sehingga lahirlah gejolak konflik masyarakat yang lambat laun ini akan semakin besar. Konflik vertical tersebut terjadi cukup panjang pasca kemerdekaan.
Untuk menjaga semua itu, maka instrument HAM merupakan alat yang ideal dalam proses mengawal Perdamaian di Aceh. Remaja sudah selayaknya menjadi katalisator dalam proses ini. Remaja saat ini sudah selayaknya membekali diri mereka tentang pemahaman mengenai HAM secara mendalam. Agar mereka dapat mempromosikan HAM kepada masyarakat dengan baik, apabila masyarakat sudah cerdas dalam memahami tentang hak-hak dasar mereka dan dapat menghormati hak-hak individu orang lain, maka akan tercapai cita-cita perdamaian di Aceh.
Karena pada dasarnya, HAM juga menjadi salah satu konsep pemersatu bangsa, sehingga setiap orang, perkumpulan dan organisasi dapat menghargai haknya masing-masing. Dan HAM juga mengatur tentang kebebasan berpendapat, dimana secara konstitusional itu juga di atur didalam UUD 1945, dan seorang pun tidak boleh mengekang terhadap kebebasan orang lain dalam hal menyampaikan pendapat. Namun apabila hal ini tidak dipahami secara baik, maka yang terjadi adalah perilaku menindas sesama. Hal-hal penting semacam ini yang perlu kita jaga agar kehidupan masyarakat di aceh yang heterogen dapat berlangsung secara damai dan rukun. Isu-isu yang dihembuskan oleh kelompok-kelompok kecil yang tidak menginginkan berlangsungnya perdamaian di Aceh harus segera diantisipasi, karena bisa berujung kepada perpecahan dan menjadi pemicu konflik di Aceh. Dan ini menjadi tugas kita semua, terutama kaum muda (remaja) dalam proses pengawalan perdamaian di Aceh.
Sehingga disini lagi-lagi dibutuhkan peran remaja dalam hal mempromosikan HAM secara luas demo menjaga kelangsungan demokrasi yang telah tercipta. Hal ini juga berpengaruh terhadap pembangunan infrastruktur yang akan berbanding lurus dengan pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) masyarakat di Aceh. Kalau hal ini dapat terwujud maka bukan tidak mungkin, lima atau sepuluh tahun lagi Aceh akan bangkit menjadi sebuah daerah yang maju dan modern di Indonesia. Wallahualam bisshawab.
Chek Lin

Antara Etika dan Etiket


Dewasa ini banyak orang yang salah membedakan antara Etika (Moral) dengan Etiket (Sopan Santun), bahkan sering terjadi percampuran makna diantara keduanya, walaupun secara substansil sangat paradoks. Sering kali terjadi proses diskriminasi dan mendiskreditkan sebuah tindakan yang sesungguhnya benar dari segi tujuan terjadi dalam hal ini. Etika dengan Etiket juga sangat erat kaitannya dengan penilaian Subjektif-Objektif. Banyak factor yang mempengaruhi dalam hal ini, salah satunya factor kekuasaan. Pemegang kekuasaan cenderung menggunakan pemikiran subjektif (etiket) dalam melihat sebuah kondisi social yang dianggap mengganggu kekuasaannya. Kadangkala sikap Antikritik dapat dengan sangat jelas terlihat bahkan terkesan otoritarianisme. Dalam hal tertentu ini bisa disebut dengan pengelabuan otak, dimana orang lain yang tidak memahami dan tidak mempunyai dasar pemikiran yang objektif akan mudah terpengaruh dengan agitasi yang demikian. Untuk lebih jelasnya kita dapat melihat perbedaan antara etika dan etiket.
Perbedaan antara etika dengan etiket
1. Etiket menyangkut cara melakukan perbuatan manusia. Etiket menunjukkancara yang tepat artinya cara yang diharapkan serta ditentukan dalamsebuah kalangan tertentu. Etika tidak terbatas pada cara melakukan sebuah perbuatan, etika memberi norma tentang perbuatan itu sendiri. Etika menyangkut masalah apakah sebuah perbuatan boleh dilakukan atau tidak boleh dilakukan.
2. Etiket hanya berlaku untuk pergaulan. Etika selalu berlaku walaupun tidak ada orang lain. Barang yang dipinjamharus dikembalikan walaupun pemiliknya sudah lupa.
3. Etiket bersifat relatif. Yang dianggap tidak sopan dalam sebuahkebudayaan, dapat saja dianggap sopan dalam kebudayaan lain. Etika jauh lebih absolut. Perintah seperti “jangan berbohong”, “jangan mencuri” merupakan prinsip etika yang tidak dapat ditawar-tawar.
4. Etiket hanya memadang manusia dari segi lahiriah saja sedangkan etika memandang manusia dari segi dalam. Penipu misalnya tutur katanyalembut, memegang etiket namun menipu. Orang dapat memegang etiketnamun munafik sebaliknya seseorang yang berpegang pada etika tidakmungkin munafik karena seandainya dia munafik maka dia tidak bersikapetis. Orang yang bersikap etis adalah orang yang sungguh-sungguh baik.

Sebagai contoh kasus yang baru-baru ini terjadi di sebuah kampus, dimana terjadi sebuah demonstrasi yang dilakukan oleh sekelompok mahasiswa yang menuntut agar adanya perubahan di kampus dengan salah satu focus issu adalah transparansi, namun aksi tersebut mendapat respon yang cukup besar dari pihak rektorat. Respon yang diberikan disini menurut saya bukan lah positif kalau kita melihat secara objektif, namun lebih kepada negative. Dimana sekelompok mahasiswa yang kritis terhadap kebijakan kampus tadi, malah dipanggil dengan dalih bahwa mereka telah mengucapkan kata-kata yang kurang layak (sopan) atau membakar ban, yang menurut versi rektorat itu di anggap anarkis, padahal tujuan mereka memanggil para mahasiswa tadi kalau kita mau jujur katakan adalah sebuah pembungkaman demokrasi dan mematikan kreativitas mahaasiswa dalam berekpresi dan berpendapat .
Dari hal itu kita dapat melihat bahwa penilaian yang sangat subjektif telah mendominasi pihak rektorat yang seharusnya tidak diperlihatkan di sebuah kampus. Karena kampus merupakan lembaga pendidikan dimana tempat lahir calon-calon pemimpin bangsa. Mereka menilai apa yang dilakukan oleh para mahasiswa yang kritis tadi dengan menggunakan tolak ukur etiket namun mereka katakan etika. Apa yang dapat kita banggakan lagi di negeri ini, kalau untuk berekspresi dan berkreativitas serta menyatakan pendapat saja sudah tidak lagi dibenarkan??? Walaupun prosesnya dilakukan dengan sangat halus sekalipun.
Padahal, kalau kita mau jujur, seharusnya mereka mendukung apa yang dilakukan oleh kelompok mahasiswa tadi, karena sebenarnya tujuan yang dilakukan adalah untuk perubahan kampus ke arah yang lebih baik, tanpa ada unsur kepentingan pribadi barang secuil pun. Ini merupakan kenyataan pahit yang harus diterima dan harusnya ini menjadi sorotan bagi public, karena keran demokrasi yang telah dibuka secara lebar pasca jatuhnya orde baru kini mulai ditutup perlahan-perlahan secara sistematis terutama di kampus-kampus tertentu. Padahal, untuk merebut demokrasi di negeri ini tidak lah semudah membalikkan telapak tangan, karena yang menjadi tumbal adalah nyawa dan darah mahasiswa. Dan hari ini, hal itu sepertinya tampak sia-sia. Wallahualam Bisshawab
Chek Lin

Jangan Bungkam Suara Rakyat



Kami kadang tidak habis pikir dengan ulah oknum penguasa yang cenderung menggunakan kekuasaannya dengan otoriter. Naik menjadi penguasa atas nama DEMOKRASI namun setelah menjadi penguasa malah menanggalkan Demokrasi itu sendiri. Ketika muncul kritik atas kebijakan mereka yang tidak populis, mereka malah membungkam suara orang-orang yang mengkritiknya, dengan berbagai cara, salah satunya melalui proses kriminalisasi yang sekarang ini cenderung menjadi trend. Hal ini merupakan sesuatu yang harus segera dicegah dan dapat membuat demokrasi di Negeri ini menjadi KRONIS. Karena bukan hanya di Publik yang luas, di Kampus hal ini juga kerap terjadi, ketika para aktivis mahasiswa mengkritik kebijakan-kebijakan kampus yang kurang populis ataupun mengenai Transparansi anggaran, mereka malah di panggil bahkan dengan ancaman yang sangat menakutkan yaitu Drop Out (DO) sehingga hak-hak mereka untuk mendapatkan Pendidikan sebagaimana dijamin oleh konstitusi akan dicabut secara sepihak oleh oknum-oknum birokrat kampus dan para oknum rektorat secara inkonstitusional. Hari ini begitu subjektifnya penilaian mengenai apa yang dilakukan kawan-kawan aktivis mahasiswa cenderung berdampak negatif bagi perkembangan pembangunan ke depan. Terutama kampus yang seharusnya melahirkan banyak Intelektual-Intelektual yang notabene bisa menjadi penerus bangsa dikhawatirkan hanya akan menjadi mimpi. sebaliknya dugaan selama ini kampus hanya melahirkan koruptor-koruptor baru bisa jadi bakal menjadi kenyataan. Karena Penilaian subjektif oleh oknum-oknum birokrat kampus tadi akan mengkebiri atau bisa saja membuat pemikiran kritis mahasiswa terkarantina, dan cenderung tumbuh rasa takut yang amat sangat besar untuk mengkritik kebijakan bahkan hal ini dilakukan dengan membentuk regulasi-regulasi yang amat sangat menindas dan mengkebiri hak-hak mahasiswa untuk menyampaikan aspirasi, sehingga kaum tyran dikampus menjadi lebih leluasa untuk berbuat semauanya. Mahasiswa hanya didoktrin bagaimana menyelesaikan study dengan cepat. Demontrasi, aksi atau apapun bentuknya yang menyatakan kebebasan berpendapat menjadi hal yang tabu dikampus(ini doktrin yang sangat berbahaya). kalau hal ini terjadi, mau jadi apa negeri in???? jangankan untuk mengkritik Pemerintah untuk mengkritik kampus saja kita dilarang???? akhirnya kampus hanya akan melahirkan kader-kader yang hypokrit (munafik) dan tidak lagi mengedepankan idealismenya. Anggapan selama ini bahwa kampus hanya akan melahirkan calon pemimpin yang berwatak munafik dan menindas bisa saja bakal menjadi kenyataan. Kalau ini terjadi, maka titik kultimasi tertinggi dalam sebuah tindakan yang rasional adalah dengan menutup kampus tersebut atau bisa saja di reformasi secara total. Karena akan berdampak negatif bagi perkembangan pembangunan ke depan. wallahu alam bisshawab. (Chek Lin )